Dibaca dulu yuk......

u comment i follow

Minggu, 27 Februari 2011

Mitologi "MUSE"

Mitologi “Muse”




Di Inggris ada band rock asal Devon, yang akhir-akhir ini namanya mencuat di blantika musik dunia. Nama band itu: Muse. Terakhir, band ini konser di Istora Senayan Jakarta. Jakarta pun heboh dengan hentakan musik band yang terdiri dari tiga personil: Matthew Bellamy (vokal, gitar, keyboard), Chris Wolstenholme (bass, keyboards, vokal) dan Dominic Howard (drums, perkusi).

Muse menjadi sorotan publik. Apalagi pecinta musik, khususnya anak-anak muda. Wartawan Kompas, Frans Sartono meliput konser Muse yang berlangsung di kawasan belanja Orchard Road Singapura: “Muse Live in Singapore”, Selasa (16/1/2007) malam.
Lalu, dalam artikelnya: “Khotbah” Rock ala Muse” (Kompas edisi Minggu (21/01/07)) Sartono menulis: “Muse mengungkapkan keresahan akan kondisi dunia yang berada dalam kendali penguasa dengan kebijaksanaan yang menghasilkan kekerasan. Matt Bellamy mengibaratkan para pendesain kebijaksanaan dunia itu sebagai pemegang tombol kendali pada permainan video. Di bawah mereka adalah kaum tak berdaya.”

Perhatikanlah lirik lagu yang tertuang dalam lagu Knights of Cydonia ini: How can we win when fools can be king …— Bagaimana kita akan menang jika orang-orang tolol menjadi raja …
Lalu …
No one’s gonna take me alive/ the time has come to make things right/ You and I must fight for our rights/ You and I must fight to survive… —Tak seorang pun akan selamatkanku/ tiba saatnya untuk menata segalanya/ kau dan aku harus perjuangkan hak/ kita harus berjuang untuk tetap hidup.”
Selain itu Muse juga menyampaikan pesan-pesan revolusi dalam lirik lagunya. Menyumpahi kaum korup dengan kata-kata “… You will burn in hell—kalian akan hangus di neraka” (Take a Bow).
Inilah keresahan mereka, keresahan yang lalu dilampiaskan lewat musik. Seruan revolusi. “Kami ingin mencari sesuatu yang positif (untuk memperbaiki situasi) meski itu berarti mencari perubahan radikal atau bahkan revolusi. Adalah ide yang baik jika kita bisa keluar dari situasi brengsek ini,” ujar Matt.
Mitologi Para Muse


Saya tertarik dengan kata Muse. Meski sebelumnya saya belum mengerti arti kata ini, namun alangkah indahnya bagi saya kata yang terdiri dari empat huruf ini. Saya mendengar kata ini pertamakali malah sebelum band rock dengan visi revolusioner itu mencuat pamornya. Sebelumnya band ini sudah berdiri sejak 1997.
Namun, pada 1999 band ini belum terdengar gaungnya di Indonesia. Tapi pada saat itu saya sudah sering mendegar kata Muse dari sebuah majalah. . Nama majalah itu: The Muse.
.

Muse adalah nama indah. Bukan hanya indah, tapi juga memiliki kisah tersendiri. Perhatikanlah apa kata Plato, pemikir besar Yunani, tentang Muse.

“Yang ketiga adalah jenis kegilaan seperti yang dimiliki oleh para Muse (sembilan dewi anak Zeus dan Mnemosyne), yang mampu membawa jiwa yang halus dan murni, lalu membangunkannya dengan kegilaan puisi Bacchus yang mengagungkan hasil-hasil pencapaian masa silam dan mengajarkannya pada generasi-generasi selanjutnya. Jika seseorang tiba di gerbang puisi dan berharap menjadi seorang penyair piawai dengan memperoleh pengetahuan tinggi dalam bidang itu tanpa disertai kegilaan para Muse, dia akan gagal, dan sajak-sajaknya yang terkendalikan oleh dirinya sendiri akan terkalahkan oleh puisi yang diciptakan orang-orang yang telah terbebas dari kuasa pikiran mereka. Di situ kau akan mencapai hasil yang cemerlang dan aku bahkan bisa katakan padamu—bahwa itu disebakan oleh kegilaan yang dianugerahkan oleh dewa.” 



Hasiod and The Muse Hesiod and the Muse (Moreau, 1857)Inilah potret Muse menurut Plato, murid Socrates itu. Saya tidak ingin membahas ajaran filsafatnya di sini. Ketertarikan saya masih pada kata Muse dan pengertiannya. Lalu menghubungkannya dengan blog saya yang sering berganti-ganti nama ini.
Sejak berdiri pada Maret 2007, blog saya (sebelum sekarang bernama The Muse) kuberi nama: Tonggo Press. Lalu kusingkat menjadi T’Press. Namun nama itu tak berlangsung lama. Nama itu pun kuganti lagi setelah suatu malam saya teringat pada majalah The Muse yang sudah mati itu. Niat saya, saya hanya ingin nama bagus itu kelak masih sering didengar orang sehingga mereka pun mencari tahu apa artinya, bahwa Muse adalah sebutan untuk sembilan putri Dewa Zeus yang memiliki “kegilaan”.
Jika seseorang tiba di gerbang puisi dan berharap menjadi seorang penyair piawai dengan memperoleh pengetahuan tinggi dalam bidang itu tanpa disertai kegilaan para Muse, dia akan gagal, dan sajak-sajaknya yang terkendalikan oleh dirinya sendiri akan terkalahkan oleh puisi yang diciptakan orang-orang yang telah terbebas dari kuasa pikiran mereka.
Puisi adalah bentuk tertinggi dari filsafat.
Sehebat itukah Muse? Kita barangkali tidak dengan mudah menafikan pendapat Plato yang dikenal dengan pemikiran-pemikirannya. Ia adalah filsuf masyur yang filosofinya sering menjadi sumber inspirasi pemikir-pemikir selanjutnya setelah ia.
Ya, jika Anda ingin “gila”, gilalah seperti Muse, yang mampu membawa jiwa yang halus dan murni, lalu membangunkannya dengan kegilaan puisi Bacchus yang mengagungkan hasil-hasil pencapaian masa silam dan mengajarkannya pada generasi-generasi selanjutnya.
Ah, kapan aku “gila” ya?

Sumber :
http://tonggo.wordpress.com/2007/07/20/mitologi-muse/

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Add Coment via Facebook

Kutuk Israel. . . . . !!!!!!